top of page

Prasangka, Rasisme, dan Pembalasan Dendam

  • Writer: TN
    TN
  • Jul 2, 2021
  • 3 min read

Siapa sangka sikap rasisme akan menghasilkan sikap lainnya yang lebih berbahaya, yang akan menimbulkan perpercahan hingga perang (Published on Opini.id 30 December 2020)


Siapa yang dapat menentukan kita lahir di dunia ini sebagai ras tertentu atau agama tertentu? Atau mungkin sebagai seorang yang kaya. Jawaban dari pertanyaan tersebut sederhana, tidak ada. Namun stigma terhadap faktor-faktor tersebut melekat didalam masyarakat, sebuah pandangan yang menimbulkan perbedaan dan berakhir dalam rasa ketidaksukaan, dimana perilaku ini disebut sebagai Rasisme.

Rasisme sudah ada sejak manusia hidup berkelompok dan membentuk susunan dalambermasyarakat, sikap ini ada diseluruh negara, bahkan di negara yang terhitung maju sekalipun. Sekitar bulan Mei lalu terjadi gerakan besar-besaran di Amerika Serikat yang menentang perilaku sewenang-wenang terhadap etnis kulit hitam, gerakan tersebut berdasar terhadap penyiksaan polisi kulit putih terhadap seorang warga kulit hitam yang berakhir dengan kematiannya. Gerakan tersebut menyebar di seluruh dunia, dengan tagar#blacklivesmatter.

Gerakan Black Lives Matter di UK (theguardian.com)

Rasisme terhadap warga kulit hitam bukanlah hal yang baru, sejak zaman kolonial, kulit hitam telah menjadi budak bagi kulit putih, pemikiran bahwa kulit putih memiliki hak superior terhadap orang-orang kulit hitam menjadikan dasar perbudakan ini. Sistem perbudakan mungkin telah dihapuskan, namun warisan dari pemikiran kolot belum sepenuhnya terhapus hingga ke zaman sekarang yang bisa kita bilang sebagai zaman modern. Selain dari rasisme persoalan etnis, agama menjadi salah satu persoalan rasisme terbesar di dunia. Bahkan hanya dengan perbedaan ideologi dalam suatu agama yang sama dapat menimbulkan perang. Sebut saja, Yaman dan Suriah yang terlibat dalam perang sipil, atau jika ingin menilik tentang Eropa, sebut saja Jerman, Spanyol dan Prancis dalam perang tiga puluh tahun yang menghasilkan Perjanjian Westphalia.

Agama yang seharusnya membawa perdamaian dan kebaikan bagi umat manusia, dibuat sebagai alasan peperangan oleh umat manusia itu sendiri, agama dijadikan sebuah propaganda untuk menghancurkan manusia lainnya yang berbeda arah dengan mereka. Siapa disini yang seharusnya disalahkan? agama atau manusia? jawabannya sekali lagi sederhana, manusia. Manusia yang menciptakan prasangka dan berakhir dengan rasa tidak suka yang menimbulkan sikap rasisme. Sikap rasisme yang membawa manusia itu sendiri ke arah bencana, yang akan menghasilkan sebuah produk bernama pembalasan dendam.

Pembalasan dendam yang jika tidak dihentikan akan terus ada hingga dunia ini berakhir. Tapi pasti sebagian besar manusia masih bertanya-tanya, mengapa pembalasan dendam menjadi produk dari sikap rasisme. Sebagai contoh sederhana, kita ambil saja Yaman, sebuah negara termiskin di Timur Tengah dari catatan Perserikatan Bangsa-bangsa. Yaman yang sudah terlibat perang sipil antar warga negaranya sendiri yang terpecah menjadi dua kelompok, Sunni dan Syi’ah, menelan korban begitu banyak dan menghancurkan fasilitas termasuk rumah-rumah penduduk. Saling menyerang dan saling merusak, sebuah pembalasan dendam dari sikap rasisme diantara kedua kelompok, yang masing-masing menyatakan bahwa mereka yang benar. Rasisme agama yang ditumpangi hasrat politik membawa Yaman menuju kehancuran.

Indonesia, negara tercinta kita sendiri, adalah contoh dari negara yang terjangkit isu rasisme yang kian menghangat akhir-akhir ini. Rasisme yang tercipta antara suku pribumi dan suku keturunan yang telah ada sejak dahulu, kembali menghangat. Prasangka buruk antara kedua belah pihak membuat jurang pemisah diantara mereka semakin dalam dan lebar. Jika ini, dibiarkan maka timbulnya perang sipil seperti sebagian besar negara di Timur Tengah menjadi mungkin. Pola pikir kolot dan usang yang mewariskan pemikiran rasisme hendaknya ditinggalkan, dan kita sebagai generasi muda, agen perubahan memiliki tanggung jawab untuk membantu masyarakat memiliki pola pikir yang lebih baik dan terbuka. Selain dari lapisan masyarakat sendiri, negara juga memegang kunci penting dalam membantu merubah pola pikir warga negaranya, dengan memberikan contoh tidak adanya diskriminasi antara kelas sosial warga negaranya, menerapkan hukum tanpa ada istilah tajam kebawah dan tumpul keatas. Serta memberikan edukasi mengenai kesetaraan diantara suku, etnis, agama, maupun status sosialnya.

Karena Rasisme Itu Diajarkan, Bukan Sifat Dari Lahir

Karena pada dasarnya, tidak ada manusia yang dilahirkan untuk membenci, namun pemikiran sempit dan prasangka yang dipelajari dalam bermasyarakat menimbulkan sikap yang disebut Rasisme, yang hanya dapat diobati dengan pola pikir maju dan terbuka dengan menganggap semua manusia setara dan memiliki hak yang sama, dan menganggap semua perbedaan yang tercipta di dunia sebagai anugerah dari Tuhan untuk menciptakan keindahan di mukabumi, seperti warna yang tercipta berbeda namun memiliki tujuan yang sama, untuk menciptakan keindahan.


Comments


Thifa Noora.png
About Me

a Bachelor of Arts who loves travelling,writing,eating. I am an Anglophile, Ravenclaw and love Shakespeare.

 

© 2023 by Going Places. Proudly created with Wix.com

bottom of page