Air Mata Tigray
- TN
- Oct 13, 2021
- 3 min read
Konflik Tigray telah berlangsung sejak 04 November 2020 di Tigray, wilayah Ethiopia. Konflik dipicu ketika Perdana Menteri Abiy Ahmed memerintahkan untuk menyerang pasukan pemberontak di Tigray. Hal tersebut dilakukan untuk menanggapi serangan terhadap pangkalan militer pasukan pemerintah yang berada di daerah tersebut. Sejak konflik tersebut dimulai ribuan orang telah tewas dan kurang lebih 1.7 juta penduduk mengungsi, sedangkan 350.000 jiwa masyarakat hidup dalam kondisi kekurangan dan kelaparan.

Ethiopia sendiri merupakan negara terpadat kedua di benua Afrika dengan total populasi penduduk kurang lebih 118 juta jiwa. Ethiopia yang dulunya bernama Abyssinia berbatasan dengan Eritrea dan Djibouti di utara, Somaliland di timur laut, Somalia di timur, Kenya di selatan, Sudan Selatan di barat dan Sudan di barat laut. Ibu kota Ethiopia adalah Addis Ababa, Ethiopia sama seperti sebagian besar negara di benua Afrika lainnya yang bergulat dengan tantangan ekonomi dan sosial.
Sebelum konflik Tigray sendiri akar permasalahan di Ethiopia berasal dari sistem pemerintahan negara itu sendiri, dimana sejak tahun 1994 Ethiopia memiliki sistem federal yaitu kelompok etnis yang berbeda mengontrol 10 wilayah. Salah satunya adalah partai pembebasan rakyat Tigray (TPLF) atau yang dalam bahasa Inggrisnya adalah Tigray People’s Liberation Front, partai ini merupakan pemimpin koalisi dari 4 partai yang memerintah Ethiopia dari tahun 1991 saat rezim militer digulingkan. Dibawah koalisi tersebut Ethiopia menjadi stabil dan makmur, namun kekhawatiran terhadap demokrasi dan penerapan hak asasi manusia muncul. Ketidakpuasan terhadap kedua isu utama tersebut menjadi sebuah gelombang protes dan membuat sebuah perubahan pemerintahan yang akhirnya menunjuk Abiy Ahmed sebagai perdana menteri. Setelah menjabat sebagai perdana menteri, tuan Ahmed membuat tatanan baru dalam pemerintahan Ethiopia, ia mendirikan partai baru bernama partai kemakmuran dan mencopot para pemimpin Tigrayan yang dituduh melakukan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Abiy Ahmed juga mengakhiri perselisihan batas wilayah dengan negara tetangga, Eritrea sehingga mendapatkan nobel perdamaian di tahun 2019. Namun hal tersebut mengusik para pemimpin Tigrayan yang memandang Abiy Ahmed berupaya untuk memusatkan kekuasaan dan menghancurkan sistem federal Ethiopia.
Konflik diantara kedua belah pihak semakin meningkat eskalasinya pada bulan September 2020 saat Tigray menolak pemerintah pusat untuk mengadakan pemilihan daerahnya yang telah tertunda akibat pandemi corona. Dan puncaknya saat pemerintah pusat menolak memberikan pendanaan dan memutuskan hubungan dengan kaum Tigray.

Konflik tersebut telah membuat keadaan Ethiopia yang sudah sulit menjadi semakin terpuruk, karena banyaknya warga negara yang mengalami kelaparan terutama balita dan anak-anak yang menderita kekurangan gizi. Lebih dari 5 juta orang yang sebagian besar merupakan penduduk Tigray membutuhkan bantuan, konflik Tigray ini merupakan bencana kelaparan terburuk menggeser Somalia yang menewaskan 250.000 warga negaranya.

Jika melihat dari konflik Tigray yang sebenarnya telah berakar sejak dulu hal ini tidaklah mengejutkan, namun konflik yang menimbulkan kerugian dan bencana kelaparan yang masif dikombinasikan dengan gelombang kekerasan etnis, konflik ini memicu kekhawatiran akan krisis yang lebih luas. Konflik ini berpotensi menghancurkan Ethiopia dari dalam yang sebelumnya telah dalam kondisi yang memprihatinkan. Konflik ini menyoroti posisi Abiy Ahmed sebagai pemimpin yang telah mendapatkan nobel perdamaian, Abiy Ahmed tentunya mendapat tekanan untuk segera menyelesaikan konflik Tigray dan tentunya mempertanggung jawabkan aksinya dalam serangan balasan kepada pasukan pemberontak yang menghasilkan konsekuensi menyeramkan untuk negara dan rakyatnya. Jika dilihat dari sisi Abiy Ahmed sebagai pemimpin, ia mengalami dilema yang luar biasa, di satu sisi ia harus menekan posisi pemimpin-pemimpin Tigray yang menghambat proses pemerintahan Ethiopia dan disatu sisi ia seharusnya bisa mengkalkulasikan dampak dari serangan balasan yang ia lakukan, karena sebagai pemimpin ia memiliki tanggung jawab untuk kemakmuran rakyat dan negaranya. Jika konflik ini terus berlanjut dan tidak ada upaya untuk melakukan gencatan senjata, konflik ini berpotensi untuk menyebar ke wilayah negara tetangga yang notabenenya memang merupakan wilayah rawan konflik dan mengacaukan seluruh benua Afrika.
Comments